Friday, December 22, 2006

Bukit Hantu Jadi Lapangan Pacu

BUKIT KANDIH KOTA ARANG
BUKIT HANTU JADI GELANGGANG PACU

Oleh Fadilla Jusman
DULU,boleh dikatakan tidak seorang pun yang mengenal Bukit Kandih, bagian Kota Sawahlunto yang kini telah berubah menjadi gelanggang pacu kuda. Layaknya 'Bukit Hantu', kawasan bekas lahan tambang PTBA - UPO seluas 400 hektar itu tidak ditempuh manusia.
Namun semenjak dua tahun terakhir, nuansanya telah tampil berbeda. Walau belum seindah gelanggang pacu di Polo Mas, tetapi Bukit Kandih telah memenuhi persyaratan menjadi arena pacuan berstandar nasional.
Apalagi, semenjak Kejuaraan Nasional Pordasi Seri II yang diikuti puluhan kuda dari berbagai pulau di tanah air akhir pekan lalu, membuat Si Bukit Hantu jadi tinggal kenangan.
Tentu saja iven Kejurnas Pordasinmengukir sejarah baru bagi pariwisata Kota Arang itu. Sebab iven nasional itu baru untuk pertama kalinya dilaksanakan di Provinsi Sumbar, dan Sawahlunto mendapatkan kesempatan pertama untuk itu.
Memang, kini Bukit Hantu telah menyita ribuan pasang mata pengunjung yang datang dari berbagai daerah. Walau di bawah terik matahari yang menyengat, tidak membuat semangat penonton untuk mundur dan melewatkan pacuan demi pacuan. "Paneh-paneh saketek, ndak masalah do. Pacu kudo nasional ko sakali-sakali pulo adonyo," ujar Doni (34), yang sengaja datang dari Kota Batusangkar Tanah Datar, sambil menyeka keringat.
Memang, suasana dan kondisi Bukit Kandih terbilang sangat panas. Tetapi wajar saja, di lahan seluas 38 hektar tempat berdirinya lapangan pacu itu sangat sulit ditemui pepohonan tempat berteduh.
Meski demikian, Pemko Sawahlunto telah berupaya memberikan suatu hal yang semula diperkirakan tidak mampu terwujud. "Dulunya, memang tidak pernah terpikir akan mampu. Tetapi, ternyata setelah diusahakan dengan keras, ternyata mimpi itu jadi kenyataan," tutur Walikota Sawahlunto, Amran Nur, ketika ditemui "Haluan", di sela-sela kesibukkannya.
Perubahan rona Bukit Hantu menjadi gelanggang pacu, memang tidaklah bisa dengan angka yang kecil. Sedikitnya Rp4 miliar dana dari APBD Sawahlunto, yang juga dibantu Pemprov Sumbar ikut dalam pembangunannya.
Akan tetapi, masih banyak polesan-polesan yang harus dilakukan untuk mempercantik raut wajah gelanggang, yang ditopang panorama beberapa danau di sekelilingnya.
BANTUAN DEWAN STEWARD
Baiknya kesan yang diterima para kontingen ajang Kejurnas dan iven Sawahlunto Wisata Cup, membuat Ketua Dewan Steward, Bert Supit tergugah untuk memberikan bantuan, guna mempercantik rona wajah gelanggang. Di akhir pelaksanaan Kejurnas, Bert Supit sempat mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan memberikan bantuan guna perbaikkan sarana prasarana gelanggang.
Sebab, menurut Sekretaris Umum Pordasi Pusat, Umbu S. Samapaty, seluruh sarana gelanggang pacu kuda harus tersedia lengkap serta memadai. Termasuk di dalamnya kelengkapan foto finish pertandingan dan jalan untuk kuda.
Akan tetapi, Umbu angkat jempol ketika ditanyakan tentang pelaksanaan. Masyarakat Sumbar ternyata sangat baik, sehingga pelaksaan Kejurnas berjalan lancar.
"Sangat sukses, berbeda jauh dari pelaksanaan di Polo Mas. Sumbar sangat tertib, tidak ada satu pun insiden yang terjadi. Suatu hal yang luar biasa dalam iven kelas nasional ini," ujar Umbu.
KANDIH BAKAL DIKELILINGI KEBUN
BINATANG
Tidak sekedar polesan di sana sini, Pemko Sawahlunto menjelang akhir 2006 akan melengkapi di sekeliling gelanggang Kandih dengan kebun binatang. Mulai dari gajah, rusa, onta, serta lokasi bermain akan menghiasi masa depan Bukit Hantu.
"Pembangunan TMII dulunya mendapat cemoohan dari berbagai pihak, tapi ketika terlaksana seluruh pihak justru menikmatinya. Kita akan berusaha untuk menjadikannya di Sawahlunto," ujar Amran.
Bulan November mendatang, Putra Talawi itu mengaku, satu per satu binatang akan masuk ke Bukit Kandih.
Melihat kuatnya tekad Pemko Sawahlunto dalam merealisasikan Visi dan Misi Pariwisata Sawahlunto menjadi Kota Wisata Tambang Berbudaya itu, Gamawan Fauzi ketika meresmikan Kejurnas, juga berkeinginan menjadi orang pertama dalam pembukaan kebun binatang yang akan dibentuk.
Tidak ketinggalan tentunya, jika Sawahlunto punya gelanggang pacu kuda, juga memiliki pusat peternakan dan pembibitan kuda sendiri. "Kita tawarkan kepada pihak swasta yang ingin dan berani berinvestasi bidang peternakan dan pembibitan kuda," ujar Amran.Terkait masalah lahan, katanya, daerah akan memberikan keringanan dalam bentuk peminjaman lahan secara gratis. Termasuk, jika ada swasta yang berkeinginan mendirikan pemondokan maupun penginapan juga akan mendapatkan keringanan serupa.***

Pordasi Seri II di Kota Arang

Pordasi Seri II di Kota Arang
KEJURNAS Pordasi Seri II di Bukit Kandis Sawahlunto 17 September 2006 mendatang hanya tinggal menunggu hari. Seluruh persiapan, mulai dari arena track pacuan hingga prasarana transportasi telah rampung. Pordasi Sumbar optimis pertahankan gelar juara umum.
Dengan satu jalan masuk dan dua jalan keluar diperkirakan dapat mengatasi kemacetan. Untuk jalan utama menuju Bukit Kandis yang melewati Danau Wisata Kandis dari Simpang Napar Desa Sikalang pun telah diaspal. Sedangkan untuk dua jalan keluar menuju Desa Sikalang dan Desa Santur, yang dulunya berupa jalan tanah, telah dilapisi dengan batu kerikil dan pasir.
“Semua jalan, baik untuk keluar dan masuk sudah dapat dilalui. Kita yakin, untuk masalah kemacetan akan dapat diatasi,” terang Kepala Dinas PU Sawahlunto, Syafaruddin, kepada “Haluan”, di sela-sela kesibukkannya.
Kondisi di arena track pacuan sendiri, setiap harinya terutama pagi dan sore hari, 87 ekor kuda dari berbagai daerah kontingen terus melakukan uji coba pengenalan track sekaligus refresing bagi kuda jagoan mereka.
Ketua Pordasi Sumbar, Fauzi Hasan, mengatakan pihaknya optimis Sumbar bakal tetap mempertahankan juara umum yang telah direbut pada Kejurnas Pordasi Seri I Polo Mas Jakarta.
“Ini kejuaraan di kandang sendiri, sangat yakin kuda Sumbar dapat mempertahankan gelar juara umum. Tandang saja kita bisa menang, apa tah lagi kandang,” ujar Fauzi Hasan.
Pordasi Sumbar memang terbilang tangguh, selain pada Kejurnas Seri I, secara berturut-turut pada tahun 2000, 2001, 2002 meraih gelar juara umum. Sumbar hanya kebobolan pada tahun 2003. Gelar itu kembali direbut pada 2004, namun kembali lepas di tahun 2005.
Pada Kejurnas Seri I lalu, Pordasi Sumbar telah gelar juara umum, dengan mengantongi nilai 48,5, yang dibayang-bayangi Pordasi Jawa Tengah dengan nilai 35, Jawa Timur dengan nilai 25,5.
Kondisi yang agak kurang menguntungkan seiring seringnya hujan, yang membuat arena track menjadi sedikit becek dan lembek. Akan tetapi, hal tersebut tidak menyurutkan semangat para pencinta olahraga berkuda untuk melakukan ujicoba.
Sementara itu, secara terpisah Wakil Sekretaris Panitia Kejurnas Pordasi Seri II, Muksis mengatakan pihaknya meyakini ajang perhelatan nasional kali ini, akan menyedot perhatian masyarakat. Setidaknya 60 ribu masyarakat akan hadir menyaksikan kecepatan kuda dari berbagai daerah yang hadir.
Hal itu, kata Muksis, dengan berpedoman kepada perhatian masyakat sewaktu track pacuan kuda Bukit Kandih diresmikan beberapa bulan lalu, yang menimbulkan kemacetan yang luar biasa hebat. Walau pun sewaktu peresmian pembukaan pacuan Kandis tidak dipungut karcis biaya masuk.Dalam kejurnas kali ini, masyarakat hanya dikenakan uang masuk sebesar Rp.3.000 per kepala, di luar biaya parkir dan sewa tribun, jika masyarakat ingin duduk tenang di tribun yang tersedia.***

Tambang Liar di Kota Arang

Tambang Liar di Kota Arang
SAWAHLUNTO, mungkin tidak asing didengar telinga. Sebuah kota kecil yang memiliki luas 24.344 hektar itu, sangat terkenal dengan tambang batu bara yang dikelola PT. Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin (PTBA UPO), yang sebelumnya merupakan rintisan penjajah dari negeri kincir angin atau Belanda pada tahun 1887.
Namun semenjak tahun 1996 serentak dengan digulirkannya Otonomi Daerah (Otoda), sebagian masyarakat Sawahlunto mulai ingin ikut menikmati bagaimana rasa hasil tambang batu bara secara langsung, dengan melakukan penambangan secara sendiri-sendiri.
Meski tidak mengantongi izin, masyarakat mulai dari tua hingga kawula muda mulai mengangkat ‘senjata’ melakukan penambangan secara tradisional, yang disebut tambang rakyat, dan biasa dikatakan penambangan tanpa izin (peti).
Peti pun mulai menggarap lahan bekas tambang milik PTBA, meski hanya dengan berbekal linggis, baling, keranjang, gerobak dan sekop, serta peralatan seadanya sebagai senjata, mereka langsung terjun melakukan penambangan ala tambang rakyat.
Walau dengan keterbatasan peralatan, peti mulai melubangi perbukitan dari bekas tambang, yang diperkirakan masih menyimpan sisa-sisa tambang bekas PTBA itu. Masyarakat kota kuali ini menyebutnya ‘lubang mancik’ alias lubang tikus. Kedalamannya pun tidak tanggung-tanggung, mampu mencapai ratusan meter. Persis seperti tambang dalam yang dibangun orang rantai sewaktu tambang dikelola Belanda dulu.
Namun kelemahannya, tambang ala rakyat dengan lubang manciknya, tidak diikuti dengan pengamanan (safety) terhadap penambangnya, berupa penyangga yang kokoh. Melainkan hanya sekedar penyangga kayu, yang tidak terjamin kekuatan untuk keselamatan para pekerja di dalamnya.
Syafrizal, 25 tahun, warga Sikalang Kota Sawahlunto, salah seorang penambangan, kepada “Haluan”, mengaku untuk menemukan batu bara, harus menggali lubang hingga pada kedalaman 150 meter, sebab batu bara pada tambang terbuka sendiri telah habis.
Menurut Syafrizal, bapak satu anak yang akrab dipanggil Aa itu, kalau nasib sedang baik, dalam waktu sehari bersama rekannya dapat menemukan langsung batu bara. Namun jika tidak, meski telah berhari-hari menggali, juga tidak menemukan satu sekop pun.
Terkadang, katanya, setelah tujuh hari menggali, batu bara tidak kunjung ketemu. Selanjutnya, Aa dan rekannya pun harus beralih ke lokasi lain, yang diyakini masih memendam batu hitam.
“Ya, demi memenuhi kebutuhan hidup, sebab tidak ada lagi yang bisa diperbuat. Sementara anak dan istri juga ingin makan. Jadi harus pindah dari satu lubang ke lubang yang lain,” ujar pria tamatan sekolah teknik Sawahlunto itu.
Akan tetapi, jika nasib sedang berpihak para penambang mampu mendapatkan tujuh hingga delapan ton. Namun, tidak kalah seringnya mereka hanya mendapatkan galian kosong atau batu bara sama sekali.
Berjuang ke dalam tanah menggali bumi, para penambang juga dihantui dengan rasa takut dan rasa cemas akan gas metan, kalau sewaktu-waktu lubang yang mereka lewati tibatiba menembus gas metan yang diperkirakan masih tersimpan di kawasan bekas tambang PTBA itu.
Namun, kebutuhan hidup sedikit mampu mengalahkan kedua rasa takut dan kecemasan itu, sehingga penambang tetap harus keluar masuk lubang mancik, menggali dan terus mencari lapisan batu bara.
“Terkadang rasa takut sangat menghantui. Apalagi ketika gempa mengguncang Sumbar beberapa waktu lalu. Kami harus ekstra hati-hati. Mendengar sedikit getaran saja, kami harus segera keluar,” ujar Nopriadi, penambang lainnya, di kawasan Langkok.
Untuk mendapatkan batu bara, Nopriadi harus menggali dan menembus tanah sedalam 75 meter hingga 200 meter. Jika nasib sedang untung, mereka bisa mendapatkan batu bara dengan ketebalan di atas setengah meter.
“Tapi, kalau lagi buntung seminggu menggali tanah, jangan lapisan batu bara, sisa batu bara pun tidak kami temukan. Ya, terpaksa pindah mengadu nasib dengan lubang baru, mencari di lokasi lain, yang mungkin masih menyimpan sisa-sisa batu bara,”ujar pria dengan wajah yang dipenuhi debu batu bara itu.
Memang berpetualang dan berbekal alat seadanya untuk mendapatkan beberapa ton batu bara, dalam lubang yang dalamnya mencapai ratusan meter itu, seorang manusia harus berpikir berulang-ulang. Namun, jika tuntutan hidup sudah tidak terkendali, apa boleh buat, Syafrizal dan rekan-rekannya harus berani menyabung nyawa, menggali hingga ke perut bumi.
Dalam minggu lalu, tepatnya Selasa (17/1) lubang tambang ombilin di Sawah Rasau mengalami kebakaran hebat. Diperkirakan kebakaran tersebut akibat dari ulah
Sekaitan tentang harga, walau para penambang telah mempertaruhkan nyawanya, Aa dan Nop, mengaku per tonnya batu bara yang mereka dapatkan hanya diharga Rp.170 ribu. Itu pun jika lubang yang mereka gali, milik sendiri.
Namun, jika lubang yang mereka ambil batu baranya milik orang lain, angka Rp.170 ribu itu akan berubah dan menciut hingga Rp.65 ribu ke tangan mereka. Penuh dengan potongan, untuk ini, itu dan uang ulayat, termasuk biaya alat.
Namun, nilai itu, tidak akan sepenuhnya dapat dinikmati penambang, jika lubang bukan yang mereka tambang milik orang lain. Sebab 40 persen dari hasil harus diserahkan kepada pemilik lubang, sebagai biaya peralatan dan ganti rugio tanah.
“Harga Rp.170 ribu ini, sudah termasuk besar, dua tahun lampau hanyalah Rp.95 ribu per tonnya. Kalau terjual, dalam satu ton, penambang hanya mendapatkan Rp 50 ribu hingga Rp.60 ribu, selebihnya jadi hak pemilik lubang,”ujarnya.
Pada hal, harga batu bara pada tingkat industri, baik yang dijual ke PT. Semen Padang, mau pun PLTU Sijantang, lanjut Aa, mencapai level Rp. 330 ribu per tonnya. Namun, penambang tradisional itu tidak dapat menikmati harga pada level tersebut. Sebab untuk menjual ke perusahaan tersebut, harus memiliki DO (Delivery Order).Memilukan memang, tapi apa hendak dikata, jika kebutuhan hidup yang semakin mendesak selalu mengikuti arah kehidupan. Aa dan kawan-kawannya tidak mampu untuk menghindar. Mereka harus tetap tegar menyabung nyawa dari lubang ke lubang, guna memenuhi kebutuhan hidup, dan menyekolahkan guna merubah nasib keturunan mereka nantinya.***

Tambang Emas Bak Cendawan di Kota Arang

Bak Cendawan
Tambang Emas Tumbuh di Kota Arang
KURANGNYA peluang kerja, membuat sebagian masyarakat Kota Sawahlunto beralih profesi menjadi penambang emas. Hampir di setiap aliran sungai di Kota Kuali tidak lepas dari deru bisingnya mesin dompeng sipencari emas, yang membutuhkan perhatian pemerintah.
Sungai Batang Ombilin misalnya, ketika melintas jembatan di kawasan Salak, terlihat jejeran mesin dompeng yang menyembulkan asap hitam dengan suara yang menderu, saling berpacu mengeluarkan air dari lubang tambang.
Sebagian penambang mengaku, penambangan emas yang mereka lakukan karena sulitnya mencari pekerjaan. Sementara himpitan ekonomi semakin keras menekan sendi-sendi kehidupan. Bahkan diantara mereka sengaja lari dari tambang batubara rakyat, yang tidak lagi menjanjikan."Ya sekedar untuk memenuhi hidup dari hari ke hari," ujar Madi (34), salah seorang penambang, kepada "Haluan", Rabu (13/9).
Meski hanya sekedar mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, untuk melakukan penambangan harus memiliki modal yang kuat. Sebab, membutuhkan sepasang mesin dompeng, untuk menyedot air dan pasir yang mengandung emas.
Tidak berbeda jauh dengan aktifitas di Batang Ombilin, sungai Malakutan di Kecamatan Barangin Kota Sawahlunto pun tidak luput dengan deru bising mesin dompeng yang silih berganti memompakan asap hitamnya.
Eri (35), bersama lima orang rekannya semenjak dua tahun silam telah bergelut dengan pencarian emas dengan menggali dasar sungai Lintas Malakutan. "Dari pada melakukan tambang batubara, yang belum jelas keberadaannya dan kandungan yang semakin menipis, lebih baik menambang emas, yang harganya senantiasa melonjak," tutur Eri, dengan baju basah yang melekat di badannya.
Meski hanya sekedar penyambung hidup, aktifitas penambangan emas juga menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap air dan areal persawahan yang berada di sepanjang aliran sungai.
Namun, di balik usaha memenuhi kebutuhan hidup, aktifitas penambangan emas juga mengancam areal sawah masyarakat yang berada di sepanjang aliran sungai. Betapa tidak, akibat sungai yang secara terus menerus digali, membuat sawah di sepanjang alirannya menjadi runtuh, karena kehilangan keseimbangan.
Apalagi, ketika musim hujan datang, air sungai yang rata-rata setinggi lutut, menjadi banjir, yang secara tidak langsung mengikis setiap tepian sungai. Akibatnya, lagi-lagi pengikisan tanah olah air.Mungkin sudah saatnya pemerintah Kota Sawahlunto memberikan perhatian kepada aktifitas penambang emas, agar tetap mampu menjaga ekosistem yang ada di sekelilingnya.***

Bantuan Keuangan Parpol Kota Arang

Bantuan Keuangan Parpol Kota Arang
DPRD Kota Sawahlunto tengah menggodok Peraturan Daerah tentang bantuan keuangan bagi partai politik, sesuai dengan peraturan yang termaktub dalam PP 37 Tahun 2005. Walikota "tawarkan" angka Rp10 juta untuk setiap kursi partai yang duduk di legislatif per tahun.
Wakil Ketua DPRD Kota Arang, Nurman Intan Batuah, memandang angka Rp10 juta untuk setiap kursi partai yang berhasil mendudukan wakilnya masih dalam batas kewajaran, serta sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
"Secara pribadi, angka Rp10 juta untuk bantuan keuangan partai politik masih dalam ambang kewajaran," tutur Nurman Intan Batuah, ketika ditemui "Haluan", Rabu (15/11).
Meski, lanjut mantan ketua DPD PAN Sawahlunto itu, angka tersebut terbilang paling rendah diantara bantuan keuangan partai politik didaerah lain. Walau pun, secara aturan yang diamanahkan dalam PP 37 Tahun 2005, bantuan keuangan partai politik di tingkat kabupaten dan kota tidak boleh melebihi bantuan keuangan partai politik di tingkat provinsi. Saat ini, untuk tingkat provinsi bantuan keuangan partai politik berada pada angka Rp21 juta per kursi per tahun.
Memang, kata Nurman, untuk plafon berapa angka yang akan diterima partai hingga saat masih dalam pembahasan. Tetapi, melihat dari kondisi keuangan daerah dan aturan yang ada, angka Rp10 juta masih berada pada titik kewajaran.
Dearah lain, Suami Marfilinda itu, bantuan keuangannya mendekati bantuan keuangan partai politik di tingkat provinsi. Malahan ada yang mencapai angka Rp18 juta hingga Rp20 juta. Tetapi, kembali kepada aturan. Angka tersebut sudah berada di bawah bantuan pada tingkat provinsi.
Dengan APBD Kota Sawahlunto yang saat ini telah menembus angka Rp200 miliar. Maka bantuan partai keuangan politik sebesar Rp10 juta masih dianggap wajar.
Walau pun dinilai wajar, berapa angka yang akan ditetapkan menjadi bantuan keuangan partai politik, akan diputuskan dalam sidang paripurna, yang diperkirakan terlaksana pada 11 Desember 2006 mendatang.
Terkait masalah APBD Kota Sawahlunto, porsi terbesar akan tetap berada pada sektor pendidikan. Diperkirakan akan mencapai 24 persen. Disusul dengan sektor kesehatan sebesar 13,8 persen.***

Sistem Perkawinan Kolok Kota Arang

SISTEM PERKAWINAN NAGARI KOLOK
URANG SUMANDO PEGANG PERANAN

Oleh : Fadilla Jusman
TIDAK dapat disanggah-sanggah, jika seluruh nagari di Minangkabau memiliki kesamaan dalam sistem perkawinan. Dimana dalam Adat Minangkabau tidak dibenarkan orang sekaum atau sesuku saling kawin mengawini "Suku Tak Dapek Dianjak, Malu Tak Dapek Dibagi".
Sebab, berasal dari nenek yang sama dan memiliki pertalian darah, seharta, sepusaka, sepandam, sepekuburan untuk membuktikan orang sekaum dilihat dari silsilah keturunan atau ranji.
Nagari Kolok yang merupakan bagian dari Kota Sawahlunto juga memiliki sistem perkawinan tersendiri. Tidak berbeda jauh dengan adat di nagari lain di Minangkabau, jika seorang laki-laki (Bujang) telah merasa dan berkeinginan untuk membentuk keluarga, maka pihak keluarga laki-laki akan melakukan perundingan dalam keluarga atau disebut "Etongan Saparuik".
Kenapa perundingan dimulai dari pihak laki-laki. Karena pinangan dilakukan oleh laki-laki kepada pihak wanita.
"Dulunya pada zaman penjajahan Belanda pinangan dilakukan dari pihak wanita kepada laki-laki. Karena laki-laki merupakan tempat menggantungkan hidup bagi kaum hawa," tutur Ketua Kerapatan Adat Nagari Kolok, Jasril Datuak Paduko Suanso bersama Sekretarisnya, Maiyufrizal Pakiah Sati secara terpisah kepada "Haluan", di kediamannya.
Namun, lanjut Bapak dua itu, ketika penjajahan Jepang terjadi perubahan. Dimana proses pinang meminang dimulai dari pihak kaum adam, dengan alasan kaum adam akan menetap di rumah wanita. Akan tetapi, perubahan tersebut tidak dipengaruhi penjajahan yang terjadi.
Selanjutnya, yang membedakan dari proses pelaksanaan yakni pekerjaan persiapan hingga pelaksanaan prosesi perkawinan selesai berada di tangan Urang Sumando (Suami dari wanita di pihak laki-laki).
Setelah keluarga sepakat atau etongan saparuik memperoleh kata bulat. Maka pihak keluarga menyampaikan kepada Mamak Tungganai rumah (Mamak yang dituakan pada rumah kaum atau suku). Ketika pokok masalah telah sampai di tangan Tungganai, Tungganai akan memanggil Urang Sumando untuk melaksanakan perundingan dengan Urang Sumando dari pihak calon istri atau si gadih minang yang akan dipinang.
Maka dicarilah seorang laki-laki dan perempuan keluarga terdekat sebagai penghubung untuk meninjau (Rasok Aie ka Pamatang, Rasok Minyak ka Kuali). Utusan pihak laki-laki mencari gambaran, apakah niat baik tersebut dapat diterima atau tidak. Serta kepada siapa pihak laki-laki akan bertanya atau kemana akan melangkah.
Tentu saja, Urang Sumando dari pihak wanita dengan cepat tanggap menyampaikan hal itu kepada keluarga pihak si gadih minang. Sama dengan keluarga pihak laki-laki, keluarga si gadih minang pun melakukan Etongan Saparuik atau keluarga kecilnya.
Apakah niat baik dari pihak laki-laki diterima atau tidak, tanpa diketahui Mamak Tungganai rumahnya harus diputuskan dalam Etongan Saparuik. Hasil kesepakatan itu, dikembalikan kepada Urang Sumando, yang diteruskan kepada Sumando pihak laki-laki, dengan cacatan adanya waktu pelaksanaan pertemuan kedua belah pihak.
Namun, sebelumnya pihak laki-laki dengan memperluas ke unsur Ninik Mamak, Bako (Saudara dari Ayah Pihak Laki-laki), juga melakukan perundingan kembali. Setelah ada kata setuju, maka Urang Sumando kembali mengambil perannya untuk menyampaikan kepada Urang Sumando pihak si gadih minang, bahwa perundingan kedua belah pihak dapat dilakukan, yang biasanya merupakan langkah peminangan.
Dalam perundingan kedua belah keluarga yang dihadiri salah seorang Ninik Mamak, Bako dan Bundo Kanduang bersama Urang Sumando itu, hanya menentukan mahar dan waktu pelaksanaan atau disebut dengan Bulang Padan.
Pertemuan kedua pihak ini juga dilakukan Latak Tando, yang biasa penyerahan cincin dari pihak laki-laki kepada perempuan sebagai tanda telah ada ikatan. "Jikok nantinyo ado salah ciek pihak nan mambatalkan ikatan. Hukum adatnyo, pihak yang membatalkan harus mengembalikan tando duo kali lipat. Jiko laki-laki nan mambatalkan, secara otomatis tando yang diagiahkan ke pihak si gadih minang akan hilang," kata Jasril.
Namun, sela Maiyufrizal, jika pihak perempuan yang membatalkan, harus mengembalikan tando dua kali lipat dari besaran yang diberikan.
Usai kata setuju dan mufakat kedua pihak tentang Bulang Padan, utusan kedua belah pihak mengemukakan kembali kepada Mamak Tungganai.
Singkat kata, setelah nikah dilaksanakan, dan waktu pelaksanaan Baralek telah tiba si gadih minang meminjam mempelai laki-laki untuk diarak ke rumahnya. Tetapi, pelaksanaan arak-arakan yang diiringi musik kesenian Talempong dan Pupuik Sarunai dilakukan dari rumah Bako (saudara ayah) pihak perempuan menuju ke rumah anak daro.
Usai prosesi pelaksanaan baralek di rumah anak daro, kedua mempelai dijemput Urang Sumando dan Sumandan pihak laki-laki, untuk dibawa ke rumah mempelai laki-laki atau mertua dari anak daro. Arak-arakan pun dilaksanakan menuju ke rumah mempelai laki-laki, dengan iringan lima talam (tempat susunan piring berisi makanan), yang akan dijadikan jamuan makan bagi undangan di rumah mempelai laki-laki.
Tetapi, pelaksanaan menikmati jamuan makan di rumah laki-laki, menurut Jasril dan Mayufrizal, tidak semudah jamuan di rumah wanita. Hantaran prakata (Pasambahan) dilaksanakan Urang Sumando, yang meminta izin Tungganai Rumah untuk memberikan jamuan kepada undangan.
"Kok hauih buliah di bariminum, kok lapa buliah diagiah makan," ujar Urang Sumando, dengan meminta izin kepada Tungganai.
Izin yang disampaikan ke Tungganai, akan diteruskan Tungganai kepada Mamak. Jika Mamak memberi izin, baru akan dikembalikan kepada Urang Sumando, bahwa jamuan makan dapat dilaksanakan. Panjangnya proses dan prosedur izin jamuan tidak sampai disana saja. Urang Sumando yang telah mengantongi izin dari Tungganai harus menyapa semua undangan (Sijamu), apakah siap untuk melaksanakan prosesi jamuan. Sijamu pun tidak bisa memutuskan begitu saja, sebab harus menyapa kembali Tungganai Rumah.
Jika izin bagi sijamu diberikan Tungganai Rumah, baru Sijamu mengatakan kepada Urang Sumando bahwa pihaknya telah siap untuk menyicipi jamuan.
Usai menikmati jamuan, proses penutupan acara jamuan juga dilaksanakan serupa dengan proses izin mencicipi jamuan pertama. Setelah ditutup, Urang Sumando pihak anak daro minta izin kepada sumando laki-laki untuk kembali menjemput kedua mempelai. Sebelumnya, dari pihak anak daro juga harus menyerahkan keris kepada Urang Sumando laki-laki, dan marapulai pun dapat dibawa pulang ke rumah anak daro.
Ketika menjelang malam, pihak wanita pun harus kembali menyiapkan diri untuk pergi "Manjalang" atau silaturrahmi dengan membawa iringan makanan menuju rumah bako (keluarga ayah) pihak laki-laki, untuk dimakan bersama di sana.
Maka, berakhirlah prosesi perkawinan adat Nagari Kolok. Namun, dalam setahun atau biasanya pada bulan suci ramadhan kegiatan manjalang harus tetap dilaksanakan pihak wanita ke rumah bako dari suaminya.
"Manjalang di bulan ramadhan ini lah yang mulai hilang. Pada hal, secara filosofinya bertujuan untuk mempererat tali siaturrahmi kedua keluarga," kata Jasril.***

Minimnya Fasilitas SKB Kota Arang

Minimnya Fasilitas SKB Kota Arang
MINIMNYA sarana dan prasarana Sanggar Kegiatan Belajar Kota Sawahlunto, mendapat sambutan dari wakil rakyat Kota Arang. Jika, anggaran peningkatan sarana SKB diajukan wakil rakyat akan mendukung realisasi dalam APBD 2007.
Namun hal itu terpulang kepada Pemko Sawahlunto, apakah akan diajukan dalam RAPBD atau tidak. Pentingnya peningkatan sarana dan fasilitas SKB dilihat dari manfaat serta potensi yang dimiliki SKB dalam meningkatkan pendapatan daerah.
"Kita akan setujui, jika pemko mengajukan alokasi anggaran untuk meningkatkan sarana dan fasilitas SKB. Sebab, SKB mempunyai potensi sebagai tempat pelaksanaan berbagai kegiatan pendidikan dan latihan yang dilakukan baik instansi maupun organisasi kemasyarakatan," ujar Wakil Ketua DPRD Kota Sawahlunto, Nurman Intan Batuah, ketika ditemui "Haluan", di ruang kerjanya.
Nurman mengakui, SKB memiliki potensi besar dalam meningkatan pendapatan daerah, jika ditunjang dengan fasilitas yang memadai. SKB memiliki lokasi yang sangat strategis dan jauh dari kebisingan lalu lintas. Sehingga sangat cocok sebagai pusat pendidikan dan pelatihan atau tempat pertemuan.
Menurut Nurman, selain SKB juga ada gedung milik pemko yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana pertemuan dan pusat diklat yakni, gedung pertemuan wanita dan gedung pertemuan masyarakat. Tetapi, kedua gedung tersebut berada di tengah kota.
Sebelumnya, Kepala SKB Kota Sawahlunto, Drs. Beni Rizal mengaku telah beberapa kali mengajukan pembangunan pagar, peningkatan fasilitas ruang dan kamar tidur, layanan air bersih. Namun, akibat keterbatasan anggaran, program yang diajukan menjadi kandas di tengah jalan.
Akibatnya, SKB belum dapat dimanfaatkan dengan optimal oleh lembaga atau organisasi yang akan memanfaatkan.
Saat ini, SKB yang memiliki fasilitas 12 kamar dengan 72 tempat tidur serta satu ruang pertemuan dapat difungsikan sebagai tempat berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan yang digelar dinas, badan dan kantor di lingkungan Kota Sawahlunto.
Meski sulit mendapatkan sarana dan fasilitas Beni mengaku, target yang diberikan pemda melalui Dinas Pendidikan sudah tercapai. Bahkan, pemasukan yang disetorkan mendekati angka 200 persen dari target yang diberikan. Pada tahun 2005, SKB diberikan target pendapatan sebesar Rp.5 juta, dengan pencapaian menembus angka Rp.11 juta. Begitu juga dengan tahun 2006, target Rp.7 juta, hingga saat ini pemasukan SKB telah mencapai Rp.10 juta.
"Jika pemda komitmen untuk memusatkan seluruh kegiatannya dengan memanfaatkan SKB, tentu pendapatan SKB yang nantinya akan mengalir ke kas daerah akan jauh berlipat ganda," kata Beni.
Tetapi, lanjut pria kelahiran Payakumbuh itu, mesti diimbangi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Sehingga, tidak ada lagi keluhan dari para pengguna SKB, namun kepuasan.
Selain keterbatasan sarana, sarana yang telah dibangun pun belum dapat dimanfaatkan. Sebelumnya, SKB yang juga sempat dimanfaatkan sebagai kediaman bagi para atlet Porprov Kota Sawahlunto telah dibangun satu bak air dengan daya tampung 75 kubik, yang menelan biaya Rp.100 juta. Tetapi, fasilitas yang semula direncanakan untuk menunjang kegiatan Porprov Sumbar itu hingga saat ini belum dapat dimanfaatkan. Pasalnya, dalam pembangunannya tidak dilengkapi dengan instalasi penyaluran air. Akibatnya, sampai detik ini bak penampung itu belum dapat dipergunakan.
"Dalam tinjauan BPK beberapa waktu lalu, telah menyarankan agar pemerintah lebih memprioritaskan pembangunan jaringan penyaluran air ini," katanya.
Terkait masalah sewa, lanjut pria dengan postur tubuh tinggi itu, biaya yang dikenakan kepada pemakai masih sangat rendah. Tetapi, diimbangi dengan fasilitas yang memadai serta bisa memberikan kepuasan kepada penyewa, tentu biaya yang dikenakan dapat ditingkatkan melalui Perda Retribusi Kota Sawahlunto.
Menanggapi hal itu, wakil rakyat dari Partai PAN, Nurman Intan Batuah, mengatakan pihaknya tengah menggodok Perda Retribusi, yang diperkirakan akan dapat disahkan pada Minggu Kedua Desember mendatang.
"Yang kita inginkan, masyarakat tidak diberatkan, tetapi dapat meningkatkan pendapatan daerah. Tentu saja, jika SKB dapat meningkatkan fasilitasnya, akan seiring dengan peningkatan biaya yang akan dikenakan kepada pengguna," tambah Bapak tiga anak itu.***