Friday, December 22, 2006

Sistem Perkawinan Kolok Kota Arang

SISTEM PERKAWINAN NAGARI KOLOK
URANG SUMANDO PEGANG PERANAN

Oleh : Fadilla Jusman
TIDAK dapat disanggah-sanggah, jika seluruh nagari di Minangkabau memiliki kesamaan dalam sistem perkawinan. Dimana dalam Adat Minangkabau tidak dibenarkan orang sekaum atau sesuku saling kawin mengawini "Suku Tak Dapek Dianjak, Malu Tak Dapek Dibagi".
Sebab, berasal dari nenek yang sama dan memiliki pertalian darah, seharta, sepusaka, sepandam, sepekuburan untuk membuktikan orang sekaum dilihat dari silsilah keturunan atau ranji.
Nagari Kolok yang merupakan bagian dari Kota Sawahlunto juga memiliki sistem perkawinan tersendiri. Tidak berbeda jauh dengan adat di nagari lain di Minangkabau, jika seorang laki-laki (Bujang) telah merasa dan berkeinginan untuk membentuk keluarga, maka pihak keluarga laki-laki akan melakukan perundingan dalam keluarga atau disebut "Etongan Saparuik".
Kenapa perundingan dimulai dari pihak laki-laki. Karena pinangan dilakukan oleh laki-laki kepada pihak wanita.
"Dulunya pada zaman penjajahan Belanda pinangan dilakukan dari pihak wanita kepada laki-laki. Karena laki-laki merupakan tempat menggantungkan hidup bagi kaum hawa," tutur Ketua Kerapatan Adat Nagari Kolok, Jasril Datuak Paduko Suanso bersama Sekretarisnya, Maiyufrizal Pakiah Sati secara terpisah kepada "Haluan", di kediamannya.
Namun, lanjut Bapak dua itu, ketika penjajahan Jepang terjadi perubahan. Dimana proses pinang meminang dimulai dari pihak kaum adam, dengan alasan kaum adam akan menetap di rumah wanita. Akan tetapi, perubahan tersebut tidak dipengaruhi penjajahan yang terjadi.
Selanjutnya, yang membedakan dari proses pelaksanaan yakni pekerjaan persiapan hingga pelaksanaan prosesi perkawinan selesai berada di tangan Urang Sumando (Suami dari wanita di pihak laki-laki).
Setelah keluarga sepakat atau etongan saparuik memperoleh kata bulat. Maka pihak keluarga menyampaikan kepada Mamak Tungganai rumah (Mamak yang dituakan pada rumah kaum atau suku). Ketika pokok masalah telah sampai di tangan Tungganai, Tungganai akan memanggil Urang Sumando untuk melaksanakan perundingan dengan Urang Sumando dari pihak calon istri atau si gadih minang yang akan dipinang.
Maka dicarilah seorang laki-laki dan perempuan keluarga terdekat sebagai penghubung untuk meninjau (Rasok Aie ka Pamatang, Rasok Minyak ka Kuali). Utusan pihak laki-laki mencari gambaran, apakah niat baik tersebut dapat diterima atau tidak. Serta kepada siapa pihak laki-laki akan bertanya atau kemana akan melangkah.
Tentu saja, Urang Sumando dari pihak wanita dengan cepat tanggap menyampaikan hal itu kepada keluarga pihak si gadih minang. Sama dengan keluarga pihak laki-laki, keluarga si gadih minang pun melakukan Etongan Saparuik atau keluarga kecilnya.
Apakah niat baik dari pihak laki-laki diterima atau tidak, tanpa diketahui Mamak Tungganai rumahnya harus diputuskan dalam Etongan Saparuik. Hasil kesepakatan itu, dikembalikan kepada Urang Sumando, yang diteruskan kepada Sumando pihak laki-laki, dengan cacatan adanya waktu pelaksanaan pertemuan kedua belah pihak.
Namun, sebelumnya pihak laki-laki dengan memperluas ke unsur Ninik Mamak, Bako (Saudara dari Ayah Pihak Laki-laki), juga melakukan perundingan kembali. Setelah ada kata setuju, maka Urang Sumando kembali mengambil perannya untuk menyampaikan kepada Urang Sumando pihak si gadih minang, bahwa perundingan kedua belah pihak dapat dilakukan, yang biasanya merupakan langkah peminangan.
Dalam perundingan kedua belah keluarga yang dihadiri salah seorang Ninik Mamak, Bako dan Bundo Kanduang bersama Urang Sumando itu, hanya menentukan mahar dan waktu pelaksanaan atau disebut dengan Bulang Padan.
Pertemuan kedua pihak ini juga dilakukan Latak Tando, yang biasa penyerahan cincin dari pihak laki-laki kepada perempuan sebagai tanda telah ada ikatan. "Jikok nantinyo ado salah ciek pihak nan mambatalkan ikatan. Hukum adatnyo, pihak yang membatalkan harus mengembalikan tando duo kali lipat. Jiko laki-laki nan mambatalkan, secara otomatis tando yang diagiahkan ke pihak si gadih minang akan hilang," kata Jasril.
Namun, sela Maiyufrizal, jika pihak perempuan yang membatalkan, harus mengembalikan tando dua kali lipat dari besaran yang diberikan.
Usai kata setuju dan mufakat kedua pihak tentang Bulang Padan, utusan kedua belah pihak mengemukakan kembali kepada Mamak Tungganai.
Singkat kata, setelah nikah dilaksanakan, dan waktu pelaksanaan Baralek telah tiba si gadih minang meminjam mempelai laki-laki untuk diarak ke rumahnya. Tetapi, pelaksanaan arak-arakan yang diiringi musik kesenian Talempong dan Pupuik Sarunai dilakukan dari rumah Bako (saudara ayah) pihak perempuan menuju ke rumah anak daro.
Usai prosesi pelaksanaan baralek di rumah anak daro, kedua mempelai dijemput Urang Sumando dan Sumandan pihak laki-laki, untuk dibawa ke rumah mempelai laki-laki atau mertua dari anak daro. Arak-arakan pun dilaksanakan menuju ke rumah mempelai laki-laki, dengan iringan lima talam (tempat susunan piring berisi makanan), yang akan dijadikan jamuan makan bagi undangan di rumah mempelai laki-laki.
Tetapi, pelaksanaan menikmati jamuan makan di rumah laki-laki, menurut Jasril dan Mayufrizal, tidak semudah jamuan di rumah wanita. Hantaran prakata (Pasambahan) dilaksanakan Urang Sumando, yang meminta izin Tungganai Rumah untuk memberikan jamuan kepada undangan.
"Kok hauih buliah di bariminum, kok lapa buliah diagiah makan," ujar Urang Sumando, dengan meminta izin kepada Tungganai.
Izin yang disampaikan ke Tungganai, akan diteruskan Tungganai kepada Mamak. Jika Mamak memberi izin, baru akan dikembalikan kepada Urang Sumando, bahwa jamuan makan dapat dilaksanakan. Panjangnya proses dan prosedur izin jamuan tidak sampai disana saja. Urang Sumando yang telah mengantongi izin dari Tungganai harus menyapa semua undangan (Sijamu), apakah siap untuk melaksanakan prosesi jamuan. Sijamu pun tidak bisa memutuskan begitu saja, sebab harus menyapa kembali Tungganai Rumah.
Jika izin bagi sijamu diberikan Tungganai Rumah, baru Sijamu mengatakan kepada Urang Sumando bahwa pihaknya telah siap untuk menyicipi jamuan.
Usai menikmati jamuan, proses penutupan acara jamuan juga dilaksanakan serupa dengan proses izin mencicipi jamuan pertama. Setelah ditutup, Urang Sumando pihak anak daro minta izin kepada sumando laki-laki untuk kembali menjemput kedua mempelai. Sebelumnya, dari pihak anak daro juga harus menyerahkan keris kepada Urang Sumando laki-laki, dan marapulai pun dapat dibawa pulang ke rumah anak daro.
Ketika menjelang malam, pihak wanita pun harus kembali menyiapkan diri untuk pergi "Manjalang" atau silaturrahmi dengan membawa iringan makanan menuju rumah bako (keluarga ayah) pihak laki-laki, untuk dimakan bersama di sana.
Maka, berakhirlah prosesi perkawinan adat Nagari Kolok. Namun, dalam setahun atau biasanya pada bulan suci ramadhan kegiatan manjalang harus tetap dilaksanakan pihak wanita ke rumah bako dari suaminya.
"Manjalang di bulan ramadhan ini lah yang mulai hilang. Pada hal, secara filosofinya bertujuan untuk mempererat tali siaturrahmi kedua keluarga," kata Jasril.***

No comments: