Friday, December 22, 2006

Tambang Liar di Kota Arang

Tambang Liar di Kota Arang
SAWAHLUNTO, mungkin tidak asing didengar telinga. Sebuah kota kecil yang memiliki luas 24.344 hektar itu, sangat terkenal dengan tambang batu bara yang dikelola PT. Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin (PTBA UPO), yang sebelumnya merupakan rintisan penjajah dari negeri kincir angin atau Belanda pada tahun 1887.
Namun semenjak tahun 1996 serentak dengan digulirkannya Otonomi Daerah (Otoda), sebagian masyarakat Sawahlunto mulai ingin ikut menikmati bagaimana rasa hasil tambang batu bara secara langsung, dengan melakukan penambangan secara sendiri-sendiri.
Meski tidak mengantongi izin, masyarakat mulai dari tua hingga kawula muda mulai mengangkat ‘senjata’ melakukan penambangan secara tradisional, yang disebut tambang rakyat, dan biasa dikatakan penambangan tanpa izin (peti).
Peti pun mulai menggarap lahan bekas tambang milik PTBA, meski hanya dengan berbekal linggis, baling, keranjang, gerobak dan sekop, serta peralatan seadanya sebagai senjata, mereka langsung terjun melakukan penambangan ala tambang rakyat.
Walau dengan keterbatasan peralatan, peti mulai melubangi perbukitan dari bekas tambang, yang diperkirakan masih menyimpan sisa-sisa tambang bekas PTBA itu. Masyarakat kota kuali ini menyebutnya ‘lubang mancik’ alias lubang tikus. Kedalamannya pun tidak tanggung-tanggung, mampu mencapai ratusan meter. Persis seperti tambang dalam yang dibangun orang rantai sewaktu tambang dikelola Belanda dulu.
Namun kelemahannya, tambang ala rakyat dengan lubang manciknya, tidak diikuti dengan pengamanan (safety) terhadap penambangnya, berupa penyangga yang kokoh. Melainkan hanya sekedar penyangga kayu, yang tidak terjamin kekuatan untuk keselamatan para pekerja di dalamnya.
Syafrizal, 25 tahun, warga Sikalang Kota Sawahlunto, salah seorang penambangan, kepada “Haluan”, mengaku untuk menemukan batu bara, harus menggali lubang hingga pada kedalaman 150 meter, sebab batu bara pada tambang terbuka sendiri telah habis.
Menurut Syafrizal, bapak satu anak yang akrab dipanggil Aa itu, kalau nasib sedang baik, dalam waktu sehari bersama rekannya dapat menemukan langsung batu bara. Namun jika tidak, meski telah berhari-hari menggali, juga tidak menemukan satu sekop pun.
Terkadang, katanya, setelah tujuh hari menggali, batu bara tidak kunjung ketemu. Selanjutnya, Aa dan rekannya pun harus beralih ke lokasi lain, yang diyakini masih memendam batu hitam.
“Ya, demi memenuhi kebutuhan hidup, sebab tidak ada lagi yang bisa diperbuat. Sementara anak dan istri juga ingin makan. Jadi harus pindah dari satu lubang ke lubang yang lain,” ujar pria tamatan sekolah teknik Sawahlunto itu.
Akan tetapi, jika nasib sedang berpihak para penambang mampu mendapatkan tujuh hingga delapan ton. Namun, tidak kalah seringnya mereka hanya mendapatkan galian kosong atau batu bara sama sekali.
Berjuang ke dalam tanah menggali bumi, para penambang juga dihantui dengan rasa takut dan rasa cemas akan gas metan, kalau sewaktu-waktu lubang yang mereka lewati tibatiba menembus gas metan yang diperkirakan masih tersimpan di kawasan bekas tambang PTBA itu.
Namun, kebutuhan hidup sedikit mampu mengalahkan kedua rasa takut dan kecemasan itu, sehingga penambang tetap harus keluar masuk lubang mancik, menggali dan terus mencari lapisan batu bara.
“Terkadang rasa takut sangat menghantui. Apalagi ketika gempa mengguncang Sumbar beberapa waktu lalu. Kami harus ekstra hati-hati. Mendengar sedikit getaran saja, kami harus segera keluar,” ujar Nopriadi, penambang lainnya, di kawasan Langkok.
Untuk mendapatkan batu bara, Nopriadi harus menggali dan menembus tanah sedalam 75 meter hingga 200 meter. Jika nasib sedang untung, mereka bisa mendapatkan batu bara dengan ketebalan di atas setengah meter.
“Tapi, kalau lagi buntung seminggu menggali tanah, jangan lapisan batu bara, sisa batu bara pun tidak kami temukan. Ya, terpaksa pindah mengadu nasib dengan lubang baru, mencari di lokasi lain, yang mungkin masih menyimpan sisa-sisa batu bara,”ujar pria dengan wajah yang dipenuhi debu batu bara itu.
Memang berpetualang dan berbekal alat seadanya untuk mendapatkan beberapa ton batu bara, dalam lubang yang dalamnya mencapai ratusan meter itu, seorang manusia harus berpikir berulang-ulang. Namun, jika tuntutan hidup sudah tidak terkendali, apa boleh buat, Syafrizal dan rekan-rekannya harus berani menyabung nyawa, menggali hingga ke perut bumi.
Dalam minggu lalu, tepatnya Selasa (17/1) lubang tambang ombilin di Sawah Rasau mengalami kebakaran hebat. Diperkirakan kebakaran tersebut akibat dari ulah
Sekaitan tentang harga, walau para penambang telah mempertaruhkan nyawanya, Aa dan Nop, mengaku per tonnya batu bara yang mereka dapatkan hanya diharga Rp.170 ribu. Itu pun jika lubang yang mereka gali, milik sendiri.
Namun, jika lubang yang mereka ambil batu baranya milik orang lain, angka Rp.170 ribu itu akan berubah dan menciut hingga Rp.65 ribu ke tangan mereka. Penuh dengan potongan, untuk ini, itu dan uang ulayat, termasuk biaya alat.
Namun, nilai itu, tidak akan sepenuhnya dapat dinikmati penambang, jika lubang bukan yang mereka tambang milik orang lain. Sebab 40 persen dari hasil harus diserahkan kepada pemilik lubang, sebagai biaya peralatan dan ganti rugio tanah.
“Harga Rp.170 ribu ini, sudah termasuk besar, dua tahun lampau hanyalah Rp.95 ribu per tonnya. Kalau terjual, dalam satu ton, penambang hanya mendapatkan Rp 50 ribu hingga Rp.60 ribu, selebihnya jadi hak pemilik lubang,”ujarnya.
Pada hal, harga batu bara pada tingkat industri, baik yang dijual ke PT. Semen Padang, mau pun PLTU Sijantang, lanjut Aa, mencapai level Rp. 330 ribu per tonnya. Namun, penambang tradisional itu tidak dapat menikmati harga pada level tersebut. Sebab untuk menjual ke perusahaan tersebut, harus memiliki DO (Delivery Order).Memilukan memang, tapi apa hendak dikata, jika kebutuhan hidup yang semakin mendesak selalu mengikuti arah kehidupan. Aa dan kawan-kawannya tidak mampu untuk menghindar. Mereka harus tetap tegar menyabung nyawa dari lubang ke lubang, guna memenuhi kebutuhan hidup, dan menyekolahkan guna merubah nasib keturunan mereka nantinya.***

No comments: