Monday, December 11, 2006

Loento Kloof , World “Mines” Heritage

Untuk kedua kali, warga Kota Sawahlunto antusias menyambut hari jadi kotanya yang ke 118, hari ini, tepat 1 Desember 2006, seluruh komponen kota kembali turun kejalan memeriahkan datangnya hari kebanggaan yang mereka nantikan. Dulu, orang menyebut ”Kota Kuali”, kini, ungkapan itu berganti dengan “Sawahlunto Kota Wisata Tambang yang Berbudaya” seiring visinya pada tahun 2020.

Masa kejayaan Sawahlonto sepertinya terulang kembali, setelah kolonial Belanda mampu mengeksploitasi tambang batubara terbesar di dunia ini, puluhan tahun, berbagai etnis suku bangsa turut membentuk sebuah komunitas sebagai pekerja tambang batubara Ombilin, ada bangsa Eropa, Cina, sebagai anak emas, Melayu dan pribumi sebagai masyarakat kelas dua, terakhir, etnis Jawa dan lainnya sebagai ‘orang rantai’ yang bekerja dengan kaki terikat rantai besi sebagai buruh kerja paksa.

Melihat sejarah, Sawahlunto menjadi bagian penting dari strategi pembangunan pemerintahan Kerajaan Belanda di Indonesia dan Eropa saat itu, berbagai infrastruktur dibangun kolonial dalam mendukung kegiatan pertambangan batubara, sekarang, sisa bangunan itulah yang kini memiliki nilai sejarah tinggi dan jadi daya tarik turisme.

Sawahlunto, memiliki kekayaan peningalan sejarah dunia (world heritage), dan memiliki atmosfir lingkungan yang unik dan terasa beda dengan daerah lain, bukan karena suhu atau cuacanya, melainkan kondisi geografis perkotaannya, lingkungan alamnya, dan kehidupan masyarakatnya yang memancarkan kekhasan tersendiri, yakni, modernitas yang ditopang oleh kekuatan historis Tambang Batubara Ombilin.

Selintas Sejarah “Kota Tua”
Kota Sawahlunto terletak pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian antara 250 sampai 650 meter diatas permukaan laut, berada di lintasan pegunungan Bukit Barisan yang membujur sepanjang Pulau Sumatera, posisinya sekitar 95 kilometer dari pusat Kota Provinsi Sumatera Barat, Padang, secara astronomis, wilayah yang memiliki endapan batubara ini berada pada 0’.34 – 0’.46 lintang selatan dan 100’.41 – 100’.49 bujur timur dengan suhu minimum 22,5 ‘C dan maksimum 27,5’ C dengan curah hujan rata-rata 1.072 mm’ pertahun.

Dalam sejarahnya, Kota Sawahlunto dapat dibagi dalam dua bagian yang disebut, “Kota Lama” yang hanya memiliki luas wilayah sekitar 779,6 hektar berada dalam sebuah lembah yang dikelilingi bukit-bukit, dan “Kota Baru”. merupakan hasil pemekaran dari “Kota Lama” yang kini luasnya mencapai 27.347,7 hektar, setelah disetujuainya perluasan kota tersebut oleh Pemerintah Pusat pada tahun 1990 dengan memasukkan beberapa nagari yang sebelumnya berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Solok dan Kabupaten Sawahlunto Sijunjung.

Kata Sawahlunto berasal dari dua suku kata yang digabungkan “ sawah” dan “loento” (baca lunto), Sawah itu terletak di sebuah lembah yang dialiri sebuah anak sungai yang berhulu dari bukit-bukit Nagari Lumindai, lalu mengalir ke Nagari Lunto dan mengairi persawahan penduduk disekitar sana, seterusnya, anak sungai tersebut membelah kota lama Sawahlunto. Kondisi inilah yang akhirnya memunculkan nama Batang Lunto.

Dalam bukunya, Sawahlunto, Dulu, Kini dan Esok, karya Andi Asoka dan kawan-kawan, nama Sawahlunto sudah dikenal sejak daerah tersebut mulai di taruko sebagai areal persawahan oleh nenek moyang masyarakat Nagari Kubang, selain menamai dengan “Sawahloento”, mereka juga menyebut “Sawah Aroe” sebab, di seputar itu banyak tumbuh batang aru yang mirip bambu sebagai pembatas sawah dan ladang penduduk serta untuk menghindari sawah dari hama gajah dan babi hutan.

Dari buku kumpulan sejarah, yang berhasil dikutip, “Sawahloento” oleh orang Belanda dahulu disebut juga dengan Loento Kloof, ( kloof artinya lembah) karena Sawahlunto berada di lembah perbukitan, kondisi ini direkam dalam sebuah potret Ir.Th.F.A Delprat, sebelum daerah ini menjadi kawasan penambangan batubara. Dalam gambar itu, memperlihatkan hamparan sawah dan sebuah anak sungai yang berliku mengalir dengan latar belakang perbukitan.

Dalam potret itu, tidak ada tergambar pemukiman penduduk, maklum, saat itu ”Sawahloento” atau Sawah Aroe” atau “Loento Kloof” itu masih berupa taratak, sudah berpenghuni namun tempat tinggalnya masih berupa dangau dan penduduknya belum menetap secara permanen. Mereka akan menetap bila diperlukan untuk mengunggui sawah, selanjutnya, kan mendirikan rumah sederhana yang dapat ditempati keluarganya.

Namun menurut buku itu, bila daerah itu di-taruko atau sudah ada pemukiman, tidak ditemukan fakta sejarahnya, bahkan, menurut Ir.Willem Hendrick De Greve dan Kalshoven, tenaga geologis, yang menyelidiki kandungan batubara disana tahun 1867 menyebutkan, daerah itu belum didiami oleh manusia, hal yang sama juga diungkap Verbeek pada tahun 1875 ketika ia meneliti deposit batubara di sekitar daerah itu yang cadanganya berjumlah sekitar 200 juta ton.

Kondisi ini tampaknya mengalami perubahan, setelah 27 Juli 1886 dilakukan pembebasan lahan tambang batubara didasari atas Akte Notaris yan dikeluarkan E.L Van Rouvery selaku Asisten Residen Tanah Datar. Sebagai wakil dari penduduk setempat penandatanganan akte dilakukan Djaar Sutan Pamuncak yang menjabat sebagai Kepala Laras Silungkang, sedangkan penerimanya adalah Hendrick Yakobnus Shuuring, sebagai pemegang konsesi pertambangan batubara dari pemerintah kolonial Belanda.

Semenjak itulah, daerah ini ramai didatangi dalam rangka persiapan penambangan batubara Tambang Ombilin, areal inilah yang kini jadi titik awal berdirinya kota Sawahlunto sekarang (kota lama-red).

Sawahlunto diperkirakan mulai menjadi wilayah pemukiman sekitar 1887, ketika itu pemerintahan Belanda menanamkan sahamnya sebesar Rp 5,5 juta gulden guna merealisasikan impiannya menambang batubara berkualitas tinggi didaerah ini. Pada 1891, enam tahun pasca penandatanganan konsesi dan akte notaris itu, produksi batubara mulai berhasil diangkut menggunakan kuda beban melalui jalan setapak menuju Muaro Kalaban untuk seterusnya menuju pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur sekarang-red) menggunakan kereta apim uap.

Sejalan perkembangannya, tahun 1892, nama Sawahloento mulai tercantum dalam Regeering Almanak van Nederlandsch – Indie. Ini pertanda daerah ini masuk dalam geo politik pemerintahan Hindia-Belanda, sebab, dengan adanya konsesi dan akte notaris itu, berarti, wilayah yang termasuk didalamnya adalh milki pemerintah Belanda saat itu.

Fakta itu, bila dikaitkan dengan keputusan yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda tentang batas-batas ibukota Afheeling yang ada di Sumatera Barat 1 Desember 1888, maka Sawahloento sudah di akui keberadaannya dalam administrasi pemerintahan kala itu, sebagai bagian dari Afdeeling Tanah Datar. Hal ini sejalan dengan persiapan pembangunan infrastruktur transportasi ketreta api dan pelabuhan Emma Haven pada tahun 1887.
Momen inilah yang menjadi ketetapan bagi pemerintah, legislatif, dan stake holder kota untuk menetapkan hari jadi Kota Sawahlunto yang selama ini “gelap” dan tidak pernah diketahui kepastian hari jadinya, melalui perjuangan Wali Kota Ir.H.Amran Nur, dan argumentasi yang cukup melelahkan, akhirnya, berdasarkan Perda Nomor : 9 Tahun 2004, maka 1 Desember 1888 ditetapkanlah hari jadi Kota Sawahlunto, dan kini.


By : Fadilla Jusman
0812 67 43613
plus_indo@yahoo.com

No comments: